Oleh: Irdam Imran
Pengamat Politik dan Demokrasi Lokal – Kamang Mudiak, Agam Sumatera Barat
Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menunjukkan wajah politik nasional yang relatif stabil dan terkonsolidasi. Hubungan antar-elit dan antar-partai berjalan harmonis, bahkan hampir seluruh kekuatan politik kini berada dalam lingkaran kekuasaan. Kondisi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menjadi modal penting bagi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan investasi.
Namun, stabilitas politik yang tampak hari ini tidak boleh hanya dipahami sebagai harmoni semu antar-elite. Di balik ketenangan politik, ada pekerjaan besar yang tengah diemban oleh Presiden Prabowo Subianto: merawat supremasi konstitusi dan memutus mata rantai politik hutang budi elektoral yang selama ini membelenggu demokrasi kita.
Supremasi konstitusi berarti menempatkan hukum dan etika publik di atas loyalitas pribadi, keluarga, maupun kepentingan sesaat. Dalam konteks inilah, kehadiran Presiden Prabowo di panggung kekuasaan memberi harapan bahwa politik Indonesia tidak lagi dikelola dengan logika balas jasa, tetapi dengan kesadaran untuk menegakkan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945 yang murni dan konsekuen.
Langkah ini tentu tidak mudah. Sebab di saat Presiden berupaya menjaga keseimbangan politik nasional, masih ada sebagian elit yang justru merawat politik personal yang feodalistis dan berwatak dinasti. Politik yang dibangun atas dasar hubungan darah dan patronase keluarga masih sering menutupi semangat meritokrasi. Padahal, demokrasi sejati hanya akan tumbuh jika jabatan publik didasarkan pada kapasitas, integritas, dan kepercayaan rakyat — bukan karena garis keturunan atau ikatan kekuasaan lama.
Kita tidak menolak stabilitas politik. Tetapi stabilitas yang sehat harus melahirkan keberanian untuk menegakkan konstitusi, membersihkan birokrasi dari praktik rente, dan mengembalikan arah pembangunan kepada kepentingan rakyat. Stabilitas yang dibangun hanya dari kompromi elite akan berumur pendek, karena tidak menyentuh akar ketimpangan sosial dan politik yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini, tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi masa uji bagi arah reformasi politik nasional. Apakah stabilitas ini akan digunakan untuk memperkuat supremasi konstitusi dan membangun pemerintahan yang meritokratis? Ataukah justru menjadi ruang nyaman bagi elit lama yang ingin memperpanjang nafas kekuasaan feodal dalam wajah baru?
Publik berharap Prabowo tetap konsisten dengan semangat yang pernah ia serukan: menegakkan kedaulatan rakyat, menjaga martabat bangsa, dan memimpin dengan keberanian moral. Hanya dengan cara itu stabilitas politik akan bertransformasi menjadi energi perubahan, bukan sekadar kesunyian kompromi kekuasaan.
Sejarah akan mencatat, apakah era Prabowo-Gibran menjadi tonggak peralihan menuju politik rasional dan berkeadaban — atau hanya sekadar babak baru dari politik personal yang berganti wajah.
*Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis