Oleh: Irdam bin Imran

Penyair Sufistis dari Kaki Bukit Gunjo – Kamang Mudik, Agam, Sumatera Barat

Di zaman ini, jari-jari manusia lebih cepat dari hatinya. Dalam sekejap, berita, opini, dan fitnah bertebaran di ruang maya tanpa sempat melewati saringan nurani. Ruang publik yang dahulu dimaknai sebagai ruang dialog dan silaturahmi kini berubah menjadi gelanggang caci dan hujat. Padahal, bangsa ini berdiri di atas landasan yang luhur — supremasi konstitusi — yang sejatinya lahir dari jiwa kolektif untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Konstitusi bukan sekadar pasal dan ayat hukum, melainkan juga pancaran nilai moral dan spiritual. Ia adalah “dzikir kebangsaan” yang menuntun setiap warga agar tidak melampaui batas, agar setiap kata, kebijakan, dan perbuatan tetap berada di bawah cahaya keadilan. Dalam pandangan sufistik, supremasi konstitusi adalah bentuk tauhid sosial: kesadaran bahwa kekuasaan, ilmu, dan kata-kata semua harus tunduk kepada Yang Maha Benar.

Namun kini, ketika media, pelaku komunikasi publik, dan sebagian netizen terjerumus dalam arus ujaran kebencian, kita sedang menyaksikan lenyapnya adab dalam komunikasi. Di antara kabar yang tak diverifikasi, tuduhan palsu, dan kata-kata yang kehilangan dzikir, nurani publik pun menjadi kabur.

Fitnah, dalam bahasa ruhani, bukan hanya dusta terhadap manusia — tetapi juga pembusukan terhadap cahaya kebenaran yang Allah titipkan dalam diri kita. Maka dari itu, membersihkan komunikasi publik dari fitnah dan kebohongan bukan hanya tugas hukum, tapi juga tugas iman.

Saat Presiden Prabowo Subianto tengah menata ulang arah pemerintahan dengan menegakkan supremasi konstitusi sebagai jalan penguatan negara, seharusnya seluruh insan media dan pelaku komunikasi publik ikut menempuh jalan yang sama. Jalan sunyi — jalan menegakkan kebenaran tanpa kebencian, jalan menjaga kata agar tidak melukai, jalan menghidupkan nurani di tengah riuhnya dunia maya.

Kita mesti kembali menjadikan komunikasi publik sebagai ibadah. Sebab setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban, dan setiap kabar akan menjadi saksi apakah kita menegakkan kebenaran atau memperdagangkannya.

Demokrasi sejati bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang dijaga oleh iman, adab, dan rasa takut kepada Allah.

Dari kaki Bukit Gunjo, tempat embun dan kabut bersujud pada pagi hari, saya ingin mengajak: mari kita kembali ke supremasi konstitusi, agar bangsa ini tidak kehilangan arah, dan hati kita tidak kehilangan cahaya. (*)

Advertisement

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *